Sabtu, 25 Maret 2017

"TIDUR DIATAS EMAS TAPI HIDUP BAGAI TIMUN MAS"

Indonesia terkenal sekali dengan sumber daya alam yang melimpah. Dengan melimpahnya sumber daya alam yang kaya, tak jarang jika Indonesia sangat digemari oleh para pengusaha asing untuk membuka sebuah perusahaan di Indonesia. Apalagi di era globalisasi seperti saat ini utamanya Indonesia banyak sekali perubahan dari sektor agraris menjadi sektor industri. Hampir semua kota-kota besar ataupun daerah dikuasai oleh berbagai macam perusahaan yang ada kaitannya dengan sektor industri. Jadi rasanya tak asing sekali jika Indonesia disebut sebagai negara yang sangat kaya dengan apa yang ada di dalamnya yaitu sumber daya alamnya.
Berbicara masalah industri, perusahaan yang berada di Indonesia sekarang mulai meningkat dengan adanya perkembangan industri khususnya perusahaan dalam bidang pertambangan. Dalam pertambangan yang ada di Indonesia dalam kajian ini yang dimaksut adalah pertambangan emas yang berada di Tanah Papua yaitu kawasan PT Freeport Indonesia. PT. FI merupakan perusahaan dibidang pertambangan yang berada di Papua, perusahaan yang dibentuk oleh Mc Moran yang berasal darI Amerika Serikat ini merupakan salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. Karena tidak hanya berada di Indonesia semata, akan tetapi tersebar di seluruh dunia. Indonesia waktu-waktu ini telah gempar terhadap pemberitaan tentang dugaan kasus suap yang dilakukan oleh ketua DPR RI. Isi pembicaraan yang non legal membuat dewan yang terhormat tersebut harus tersandung dengan hukum. Sayang sekali daripada apa yang diperkarakan ternyata tidak sampai tuntas dalam penangannya. Masalah pertambangan bukan hanya masalah yang hanya dapat diatasi dengan gampang dan cepat. Akan tetapi sangatlah kompleks dan rumit ketika kita berbicara masalah pro dan kontra masalah pertambangan yang ada di Indonesia khususnya PT Freeport. Tarik ulur konflik Freeport, tentang penambahan jangka oprasi membuat banyak orang khawatir terhadap apa yang terjadi di masa depan. Pro dan kontra telah menyulut pemberitaan besar pada setiap media-media pemberitaan di Indonesia.
Kasus Freeport Indonesia.
PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia(wikipedia). Freeport Indonesia, Perusahaan besutan McMoRan yang bekerja di bidang pertambangan mineral milik perusahaan asing yang berkebangsaan Amerika serikat ini memang menuai berbagai masalah di dalam negeri. PT. Freeport Indonesia juga menjadi sisi yang pastinya akan menjadi besar jika masalah yang akan ditimbulkan sampai keluar ke telinga publik. Memang masalah mengenai eksploitasi pertambangan di Indonesia sangat sering sekali terjadi akibat ketidak tegasan atas fungsi kontrol wakil rakyat akan aturan perundang-undangan yang berlaku. “Di tengah kasus perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (PTFI) yang melibatkan politisi, sebelumnya Freeport-McMoRan Inc telah mengumumkan pemerintah Indonesia sudah menyepakati operasi jangka panjang dan rencana investasi perusahaan di kompleks Pertambangan Grasberg, Papua, pasca-2021”(SINDOnews,9/12/15).
Pencatutan nama Presiden dan wakil presiden yang diduga oleh oknum DPR RI tersebut sontak memuat geger seluruh media dan masyarakat Indonesia. Dimana konspirasi buruk sebuah kejahatan kerah putih baru saja terindikasikan. Memang jadi rahasia umum semua yang berbau politik pasti ada saja persekongkolan jahat yang akan memanfaatkan celah yang ada. Birokrasi pemerintahan yang sering tertutup untuk umum memang seringkali digunakan sebagai bagian untuk mengeruk keuntungan untuk diri sendiri. Dilihat dari teori konflik hal tersebut merupakan pemicu dari konflik itu sendiri. Konflik yang terjadi merupakan konflik realistis yang pada intinya kekecewaan masyarakat akan perbuatan yang tidak terhormat oleh wakil rakyat yang memiliki 3 fungsi dasar yaitu sebagai pengawas, perancang undang-undang dan perancang anggaran yang harusnya memberikan andil besar untuk membangun negara serta mensejahterakan masyarakat Indonesia bukan untuk meraup keuntungan pribadi. Menurut Antonius, dkk (2002: 175) konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi. Konflik sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu konflik tertutup dan konflik terbuka. Konflik tertutup sendiri terjadi hanya berada di dalam dan tidak meluas keluar dan mengakibatkan kerugian dan korban akan tetapi mengarah pada situasi yang kurang harmonis seperti sikap curiga dan rasa tidak percaya.
Kehadiran PT Freeport telah menunjukkan betapa buruknya peran ekonomi kapitalistik terhadap situasi politik, sosial-budaya, perusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di negara-negara sedang berkembang. Hal ini desebabkan karena perusahaan multinasional memiliki kekuasaan modal yang sangat kuat dalam hal mempengaruhi kebijakan dari sebuat pemerintahan yang berkuasa dan bahkan mendiktekan kehendak-kehendak politik mereka pada negara-negara tersebut(Cahyo Pamungkas. 2009.) Akan tetapi klaim PT.FI yang digunakan sebagai acuannya pada tahun 2012, PT Freeport Indonesia mempekerjakan lebih dari 11.700 karyawan langsung dan lebih dari 12.400 karyawan kontraktor. Jumlah karyawan langsung PTFI: 64,04% Non Papua, 34,63% Papua, dan 1,33% Asing. Kebijakan Freeport Indonesia adalah untuk terus mempekerjakan lebih banyak pegawai yang berasal dari Papua. Freeport Indonesia juga mendirikan Institut Pertambangan Nemangkawi, sebuah sekolah tinggi untuk mempersiapkan tenaga-tenaga kerja asal Papua yang terampil untuk bekerja di area perusahaan.
Rakyat Indonesia harus menyadari pelajaran dan kebodohan dari kasus penjualan saham ini. Sumberdaya alam milik negara dan rakyat Indonesia telah dijual dan digadaikan oleh Freeport kepada para investor di pasar modal, di negeri orang. Dari hasil penjualan itu, Freeport memperoleh modal dan peningkatan value perusahaan yang sangat besar. Karena tidak memiliki saham signifikan dan otomatis tidak ikut mengelola perusahaan, keuntungan peningkatan modal dan value ini tidak turut dinikmati oleh bangsa Indonesia. Rakyat hanya menjadi penonton atas kenikmatan yang diperoleh asing dan perilaku penjajahan ini.
Langkah-Langkah Pemerintah :Pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari pengelolaan serta penggunaan sumber daya alam. Namun kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak mengindahkan kemampuan serta daya dukung dari lingkungan tersebut mengakibatkan kerusakan pada lingkungan, serta merosotnya kualitas dari lingkungan tersebut. Banya sekali faktor yang dapat menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan yang dapat kita identifikasi dari pengamatan di lapangan. Hingga saat ini peran pemerintah khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam seperti mengatasi permasalahan lingkungan baik yang berupa pencemaran dan sebagainya belum sepenuhnya terealisasikan dengan baik dan konsisten.
Dalam meningkatkan kualitas sumber daya alam di negara Indonesia, kita tidak hanya melempar tanggung jawab kepada pemerintah saja. Artinya kita tidak boleh menjadikan masalah sumber daya alam sebagai beban yang harus di selesaikan oleh pemerintah saja, melainkan harus ada kerja sama yang sistematis dan progresif antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga formal tertinggimengatur tata kelola persediaan SDA yang ada di Indonesia menjadi hal yang penting sebagai landasan menjaga keseimbangan dimasa yang akan datang, dengan menetapkan kebijakan serta UU yang tepat agar tercapainya pengelolaan SDA yang berkelajutan.
Memang bahwasannya peranvpemerintah ini khususnya peran dari Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagai perwakilan dari pemerintah dalam hal ini masih dirasa sangat kurang, selain kebijakan dan peraturan yang masih kurang jelas serta belum fokusnya pemerintah dalam menjaga keutuhan serta penggunaan sumber daya yang efektif dan efisien guna mensejahterakan masyarakat. Dari penjelasan di atas sebaiknya peran pemerintah tidak hanya sebagai pembuat kebijakan (legislatif) dan pengontrol saja, tetapi ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan pemerintah :
  1. Melakukan pembaharuan teknologi yang ramah lingkungan, dengan mendukung serta memberikan dana bagi institusi atai individu yang melakukan pembaharuan teknologi tersebut. Misalnya teknologi Biogas, Biopori, dan minyak biji jarak.
  2. Mengajak perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang lingkungan dan SDA untuk ikut serta menjaga SDA yang ada, dengan mendorong mereka melakukan corporate sosial responsibility (CSR) sebagai bentuk tanggung jawab terhadap eksploitasi SDA yang dilakukan, dengan membuat UU perihal kewajiban perusahaan melakukan CSR.
  3. Mengkampayekan Cinta Indonesia Cinta Lingkungan, seperti buang sampah pada tempatnya, tentunya dengan memberikan sanksi yang tegas bagi para pelanggar (tanpa pandang levelitas).
  4. Mensosialisasikan dengan tepat kebijakan-kebijakan kepada seluruh aspek masyarakat, agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan serta memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan.
  5. Meningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) seperti pengetahuan serta keteranpilan SDM dalam pengelolaan dan pengembagan program CSR.
Dan sebagai masyarakat kita juga harus menjaga kelestarian sumber daya yang kita miliki, hal ini dikarenakan kita tinggal dan hidup dengan lingkungan sehingga berbagai perilaku yang kita lakukan kepada lingkungan akan berdampak kepada diri kita sendiri. Dan juga sebagai aktor yang secara langsung lebih mengetahui kondisi lingkungan serta sumber daya alam dibandingkan dengan pemerintah, kita memiliki beban serta tanggung jawab yang sama dalam merawat dan menjaga keutuhan serta kualitas sumber daya agar penggunaan sumber daya dapat terus berkelanjutan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa negara kita merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Namun yang menjadi permasalahan dan ironi selama ini adalah bahwa kekayaan alam yang kita miliki tidak mampu mensejahterakan masyarakat. Padahal semua kekayaan itu seharusnya menjadi kedaulatan pemerintah untukdigunakan sebesar-besarnya demi mensejahterakan masyarakat. Faktanya kekayaan alam dan energi kita dikuasai oleh asing, sehingga hanya segelintir pemilik modallah yang hanya menikmati kekayaan alam kita. Belum lama ini kita juga mendengar bahwasannya presiden kita memberikan pidato mengenai inpres dalam penghematan sumber daya dan energi. 

Penyebab utama mengapa negara kita tidak mampu berdaulat atas sumber daya energi adalah dikarenakan kesalahan dalam model yang dianut oleh pemerintah kita saat ini dalam mengelola sumber daya energinya. Banyak dari kita yang tidak sadar bahwasannya pemerintah kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Sistem kapitalisme merupakan sistem yang menggunakan ide kebebasan, sehingga kepemilikan sumber daya energi bebas dimiliki oleh siapapun yang memiliki modal besar. Jika sumber daya kita sudah dimiliki dan dikuasai oleh mereka, baik individu maupun swasta maka kekayaan akan menumpuk pada kelompok bermodal atau kaum kapitalis. Inilah mengapa kemiskinan di Indonesia tidak pernah terselesaikan. Dampak dari sistem kapitalis ini juga adalah peran pemerintah dalam intervensi pengelolaan sumber daya energi, sehingga perekonomian diserahkan seluruhnya oleh mekanisme pasar.

Pemerintah selalu beranggapan bahwa negara kita kekurangan modal, sehingga butuh kerja sama dengan pihak asing atau pemilik modal dalam mengelola sumber daya energi di Indonesia. Faktanya adalah bahwa negara kita tidak pernah kekurangan modal. Hal ini dibuktikan dari selalu adanya sisa anggaran yang tidak terserap dalam suatu periode. Dan besar sisa anggaran tersebut mencapai hingga Rp90 Trilliun dalam tiap periodenya, lalu kemanakah uang tersebut??? .

Oleh karena itu salah besar jika pemerintah kita mengatakan bahwa negara kita mengalami defisit dan kekurangan modal. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa pemerintah kita berada dibawah tekanan asing untuk membuka keran investasi seluas-luasnya. Inilah model penjajahan baru yang dilakukan oleh negara kapitalis terhadap negara berkembang seperti negara kita. Penjajahan model baru yaitu dengan mengintervensi perundang-undangan serta sistem politik supaya bagaimana undang-undang di Indonesia mampu menguntungkan mereka dan mampu meliberalkan perekonomian di negara kita.

Memang sulit untuk lepas dari sistem penjajahan ini, namun bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Selain membutuhkan ideologi yang kuat dan berani untuk lepas dari penjajahan asing, kita juga harus sadar dan paham akan dunia politik yang saat ini terjadi. Dan nantinya kita bisa mengusir pihak asing dengan menegosiasikan kembali kontrak yang sudah ada, dan kalau bisa kita harus memutuskan kontrak dengan mereka. Kita sudah tidak memiliki waktu yang panjang untuk terus merasakan penderitaan masyarakat yang tidak pernah merasakan sumber daya energinya sendiri. Kita tidak bisa lagi menunggu hingga gunung-gunung di Papua dieksploitasi oleh PT Freeport, dan lain-lain. 

Pemerintah kita harus berani melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing di Indonesia seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Venezuela dan Bolivia. Dan hal itu sangat mungkin untuk dilakukan karena dampak dari pemutusan kontrak hanyalah kepada stakeholder dari perusahaan tersebut dan tidak berdampak pada mayoritas masyarakat dari negara asal corporate tersebut. Oleh karenanya pemerintah harus berani dan tegas kepada pihak asing dan kapitalis jika ingin memiliki kedaulatan atas sumber daya energi di negara ini.

Nama Kelompok :  (1EB11)
- Aldi Rivaldi
- Lia Astuti
- Venny Arifani


SUMBER  :

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN HINGGA SAAT INI

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN HINGGA SAAT INI

Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia pada masa penjajahan, berikut adalah penjelasannya :
MASA PENDUDUKAN BELANDA            
Pada masa penjajahan,Indonesia menerapkan system perekonomian monopolis. Dimana setiap kegiatan perekonomian dijalankan sesuai dengan penguasa perdagangan Indonesia saat itu. VOC adalah lembaga yang menguasai perdagangan Indonesia pada saat itu, disini VOC menerapkan peraturan dan strategi agar mereka tetap menguasai perekonomian Indonesia. Peraturan-peraturan yang diterapkan VOC seperti kewajiban menyerahkan hasil bumi pada VOC dan pajak hasil bumi yang dirancang untuk mendukung monopoli tersebut. Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi,antara lain meliputi: 
 Hak mencetak uang
 Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
 Hak menyatakan perang dan damai
Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Disamping itu VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah agar tetapa tinggi.antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah. Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan monopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negeri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang hanya 1.050 metrik ton. Dan pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar,terutama perang Diponegoro.
Penggunaan tentara sewaan memebutuhkan biaya besar
Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri
Pembagian deviden kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
MASA PENDUDUKAN INGGRIS (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan menggunakan pajak tanah, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang
Pegawai pengukur tanah dari inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena inggris tak mampu mengakui suksesi jabatan secara turun temurun.
MASA CULTUURSTELSEL (SISTEM TANAM PAKSA)
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Yang bertujuan untuk memproduksi berbagai komoditi yang permintaannya ada  di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet  dan  kelapa sawit. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, akan tetapi sangant  menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent (pajak tanah) dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuur stelstel sangat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodipun masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka.
Dengan menerapkan cultuur stelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar.
SISTEM EKONOMI PINTU TERBUKA (LIBERAL)
Dengan adanya dorongan dari kaum humanis belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Maka dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada :
Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.

Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
PEREKONOMIAN INDONESIA MASA ORDE LAMA (1945 – 1966)
Pada awal kemerdekaan, pembangunan ekonomi Indonesia mengarah perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, yang bertujuan untuk memajukan industri kecil untuk memproduksi barang pengganti impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat ketergantungan luar negeri. Sistem moneter tentang perbankan khususnya bank sentral masih berjalan seperti wajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya hak ekslusif untuk mencetak uang dan memegang tanggung jawab perbankan untuk memelihara stabilitas nasional. Bank Indonesia mampu menjaga tingkat kebebasan dari pengambilan keputusan politik.
Masa orde lama dimulai dari tanggal 17 Agustus 1945 saat Indonesia merdeka. Pada saat itu, keadaan ekonomi Indonesia mengalami kegiatan produksi terhenti pada tingkat inflasi yang tinggi. Indonesia pernah mengalami sistem politik yang demokratis yakni pada periode 1949 sampai 1956. Pada tahun tersebut, terjadi konflik  politik yang berkepanjangan dimana rata-rata umur kabinet hanya dua tahun sehingga pemerintah yang berkuasa tidak fokus memikirkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yangterjadi pada saat itu. Selama periode 1950an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial, struktur ini disebut dual society dimana struktur dualisme menerapkandiskriminasi dalam setiap kebijakannya baik yang langsung maupun tidak langsung. Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah buruk dibandingkan pada masa penjajahan Belanda. Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai meramba ke proyek-proyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Kebijakan ini berisi rencana pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk mendukung proyek besar tersebut. Rencana ini mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan perhitungan modern. Namun sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun ini tidak berjalan atau dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti adanya kekurangan devisa untuk menyuplai modal serta kurangnya tenaga ahli. Perekonomian Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk. Terjadinya pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer untuk biaya konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa. Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai dekat dengan negara-negara komunis. Untuk lebih jelas nya berikut ini adalah penjelasan terperinci nya.
MASA PASCA KEMERDEKAAN (1945-1950)
Pada masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh : – Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javashe Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. 
Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
Kas Negara kosong
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan Juli 1946.
Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke, mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950 – 1957)
Permasalah ekonomi yang dihadai oleh bangsa Indonesia masih sama seperti sebelumnya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan suatu perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU No. 24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
Sistem ekonomi Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut : Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
MASA ORDE BARU (1966-1997)
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian. Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
REPELITA I (1967-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
REPALITA III (1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
Kelebihan Pada Masa Orde Baru :
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000.
Sukses transmigrasi.
Sukses KB.
Sukses memerangi buta huruf. 
Sukses swasembada pangan. 
Pengangguran minimum. 
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). 
Sukses Gerakan Wajib Belajar. 
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh. 
Sukses keamanan dalam negeri. 
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
Kekurangan Orde Baru  :
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme. 
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara   pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke      pusat. 
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua. 
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh   tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya. 
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin). 
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan. 
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel. 
MASA REFORMASI
Pemerintahan reformasi diawali pada tahun 1998. Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo menuntut presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan Bapak Soerhato dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta). Pemerintahan reformasi dari tahun 1998 sampai sekarang sudah mengalami beberapa pergantian presiden, antara lain yaitu :

Bapak B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahgun 1997, perusahaan perusahaan swasta mengalami kerugaian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya. Keadaan seperti ini menjadi masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaan mengalami kerugaian yang cukup besar dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja untuk menaikkan gaji sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang mengambil tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Ini adalah kesalahan Pemerintah Orde Baru yang mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di Masyarakat Indonesia yang merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang tergolong masih rendah. Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Langkah pertama yang dilakukan BJ Habibie dalam mengatasi krisis ekonomi Indonesia antara lain mendapatkan kembali dukungan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mulai positif pada Triwulan I dan II tahun 1999. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia mengalami pemulihan. Untuk mewadahi reformasi ekonomi telah diberlakukan beberapa Undang-Undang yang mendukung persaingan sehat, seperti UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat dan UU Perlindungan Konsumen. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persai ngan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sedangkan Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dan semuanya berdasarkan kepada asas Demokrasi Ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Serta untuk mecapai tujuan menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
Pengembangan ekonomi kerakyatan yang dalam rangka memberdayakan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan memperkuat ketahanan ekonomi sosial penekanannya adalah pada usaha kecil, menengah dan koperasi menjadi salah satu perhatian utama. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per dolar pada awal terjadinya krisis moneter dan utang luar negeri yang jatuh tempo sehinga membengkak akibat depresiasi (penyusutan) rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk memperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :
1. Merekapitulasi perbankan dan menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian.
2. Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
3. Menaikan nilai tukar rupiah
4. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
Pada tanggal 15 januari 1998 (masih orde baru ) Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF. Salah satunya adalah memberikan bantuan (pinjaman) kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan konsekuensi diterbitkannya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam KepresNo.26/1998 dan Kepres No.55/1998. Keppres itu terbit setelah sebelumnya didahului munculnya Surat Gubernur BI (Soedradjad Djiwandono, ketika itu) tertanggal 26 Desember 1997 kepada Presiden dan disetujui oleh Presiden Soeharto sesuai surat Mensesneg No.R 183/M.sesneg/12/19997. Atas dasar hukum itulah Bank Indonesia melaksanakan penyaluran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kepada perbankan nasional. Total BLBI yang dikucurkan hingga program penyehatan perbankan nasional selesai mencapai Rp144,5 triliun, dana itu tersalur ke 48 bank. Pada tahun 1999 di zaman Presiden BJ Habibie sebanyak 48 Bankir penerima BLBI melakukan penyelesaiaan settlement aset atas BLBI yang diterimanya melalui berbagai macam perjanjian dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang terdiri dari lima bankir mengikat perjanjian dengan skema Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA) dimana nilai aset yang diserahkan kepada pemerintah sama dengan total hutang BLBI yakni sebesar Rp89,2 triliun, tiga bankir menyelesaikan utang dengan mengikat perjanjian Master of Refinancing and Notes Issuence Agreement (MRNIA) dimana nilai aset lebih kecil dibandingkan hutang BLBI yang diterima sehingga harus ditambah personal guarantee dengan total utang BLBI sebesar Rp22,7 triliun.Selain itu terdapat 25 bankir mengikat perjanjian penyelesaian hutang melalui skema Akte Pengakuan Utang (APU) sebesar Rp20.8 triliun, sementara 15 bankir semua asetnya langsung ditangani oleh Bank Indonesia yang sampai hari ini belum jelas pertanggung jawabannya sebesar Rp11,8 triliun. Jadi untuk MSAA dan MRNIA saja sudah 77 % mewakili penyelesaain BLBI. Khusus untuk perjanjian APU tidak semua menandatanganinnya di era Presiden Habibie, sebagian di era Presiden Abdurahman ‘Gusdur’ Wahid, sebagian lagi dimasa Presiden Megawati. Sementara sebagian yang tidak kooperatif dan diserahkan kepolisi pada masa pemerintahan Megawati jumlahnya delapan orang, diantarannya Atang Latief (Bank Bira), James Januardy (Bank Namura), Ulung Bursa (Lautan Berlian).
Beberapa keberhasilan ekonomi di era Habibie sebenarnya tidak lepas dari usaha kerja keras para kabinetnya yang reformis. Namun, perlu disadari bahwa Habibie bukanlah presiden yang benar-benar reformis dalam menolak kebijakan ekonomi ala IMF. Dengan keterbatasannya, beliau terpaksa menjalani 50 butir kesepakatan (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF, sehingga penangganan krisis ekonomi di Indonesia pada hakikatnya lebih pada penyembuhan dengan “obat generik”, bukan penyembuhan ekonomi “terapis” ataupun “obat tradisional”. Sehingga ketika meninggalkan tampuk kekuasaan, Indonesia masih rapuh. Disisi lain, Habibie masih sangat mempercayai tokoh-tokoh Orde baru duduk di kabinetnya, padahal masyarakat menuntut reformasi. Dan tampaknya, Habibie memang menempatkan dirinya sebagai Presiden Transisi, bukan Presiden yang Reformis.
Pembangunan Indonesia pada masa orde baru yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat dapat membawa negeri ini ke arah disintergrasi bangsa. Namun UU Otonomi Daerah yang dilahirkan pada masa pemerintahan Habibie berhasil memberikan landasan yang kokoh bagi Indonesia untuk tidak terjerumus kedalam nasib yang sama seperti Negara Yugoslavia dan Uni Soviet. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu :
1. mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Bapak Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua, utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.

Ibu Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)
Masa kepemimpinan Megawati mengalami masalah-masalah yang mendesak yang harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan hokum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara menjadi sangat berkurang.

Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004)
Masa kepemimpinan SBY terdapat kebijakan yang sikapnya kontroversial yaitu :
Mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepaladaerah. Investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Lembaga kenegaraan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dijalankan pada pemerintahan SBY mampu memberantas para koruptor tetapi masih tertinggal jauh dari jangkauan sebelumnya karena SBY menerapkan sistem Soft Law bukan Hard Law. Artinya SBY tidak menindak tegas orang-orang yang melakukan KKN sehingga banyak terjadi money politic dan koruptor-koruptor tidak akan jera dan banyak yang mengulanginya.
Program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas dikarenakan persediaan bahan bakar minyak semakin menipis dan harga di pasaran tinggi.
Pada tahun 2006 Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF (International Monetary Fund). Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Pengeluaran Negara pun juga semakin membengkak dikarenakan sering terjadinya bencana alam yang menimpa negeri ini.

Perekonomian Masa Jokowi
Pelantikan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden RI ke-7, Periode 2014 – 2019, mendapat sambutan meriah. Dibalik kemeriahan, tugas Jokowi sebagai presiden sungguh berat. Wawancara DW dengan Rajiv Biswas.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang mandek menyusul naiknya kekhawatiran soal korupsi dan proteksionisme. Bukan hanya itu, Jokowi juga harus bisa meraih hati anggota parlemen supaya bisa mendukung penuh langkah-langkah pemerintahannya, khususnya terkait upaya menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, yang telah melambat dalam beberapa bulan terakhir serta defisit yang semakin tinggi.
Ditekankan olehnya, jika pemerintahan Presiden Jokowi tidak mampu mewujudkan agenda reformasi terkait upaya meningkatkan iklim bisnis dan membuat Indonesia lebih kompetitif, maka investor-investor global bisa dengan mudah kehilangan kepercayaan terhadap prospek bisnis di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya.
DW: Banyak analis berpendapat bahwa ekonomi Indonesia beberapa tahun belakangan kinerjanya dibawah harapan. Terakhir, Bank Indonesia (BI), yang merupakan Bank sentral, telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun, dari 5,9 persen menjadi 5,1 persen. Mengapa ekonomi Indonesia seperti kehilangan vitalitasnya?
Apa dampak kebijakan ini terhadap masa depan ekonomi bangsa di pemerintahan yang baru?
Pelantikan presiden baru tentu akan sangat penting bagi paparan ekonomi Indonesia. Presiden SBY akhirnya turun setelah 10 tahun berkuasa, dimana dia meningalkan warisan pemerintahan demokrasi dan kemajuan dalam pembangunan ekonomi. Dalam pemerintahan yang baru, Jokowi akan memainkan peran yang cukup menentukan dalam membentuk masa depan ekonomi bangsa melalui kebijakan-kebjikan ekonomi. Bukan hanya itu, Jokowi juga akan memainkan peran untuk memutuskan apakah akan mengupayakan strategi globalisasi dan memperluas integritas internasional atau akan lebih nasionalis, dengan melindungi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Satu hal yang juga menjadi tantangan yang bakal dialami pemerintahan Jokowi adalah partai PDI-P, yang menggolkan Jokowi menjadi Presiden RI, setelah berkoalisi hanya mampu menguasai 40 persen kursi parlemen. Posisi ini, tentu menjadi hal serius bagi agenda reformasi Jokowi.
Outlook jangka menengah masa depan Indonesia akan dibentuk oleh agenda kebijakan presiden serta para menteri bidang ekonomi yang ditunjuk. Sebab dalam dua tahun terakhir telah ada kebijakan nasionalis yang cukup signifikan, khususnya disektor sumber daya alam. Perhatian utama bagi para investor global adalah apakah hal tersebut bisa diterapkan dalam sektor industri lainnya.
Presiden Jokowi, harus melakukan reformasi terbesar pada sektor ekonomi mikro. Ini yang menjadi kunci utama.
Apa yang akan menjadi tantangan ekonomi terbesar dalam pemerintahan yang baru? Kendati Indonesia membuat sejumlah kemajuan di bidang stabilisasi ekonomi makro di bawah pemerintahan SBY, kunci terpentingnya bagi Jokowi adalah menerapkan reformasi-reformasi krusial ekonomi mikro.
Beberapa prioritas dalam pemerintahan Jokowi adalah mengakselerasi perkembangan infrastruktur untuk pembangkit listrik, transmisi, pelabuhan, bandara dan jalan raya. Secara signifikan meningkatkan mutu pendidikan serta pelatihan kejuruan untuk membangun modal sumber daya manusia Indonesia dalam sektor-sektor industri kunci.
Kebijakan apa yang diperlu diperkenalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi? Pemerintahan baru yang dipimpin Jokowi harus perlu melakukan reformasi ekonomi makro yang menjadi kunci penting bagi sektor industri seperti pembangkit listrik, distribusi barang dan pelabuhan supaya bisa menciptakan industri yang lebih kompetitif, yang pada akhirnya juga akan ikut membantu mengkatalisasi perkmbangan ekonomi.
Pemerintahan Jokowi juga perlu bergerak maju disektor liberaliasi perdagangan dan investasi, yang sekarang sedang dinegosiasikan dibawah pola ASEAN Economic Community, yang akan diterapkan pada 2015 mendatang.
Bagaimana soal korupsi, yang kini merajalela di Indonesia dan khawatirkan mempengaruhi perluasan dan pengembangan ekonomi Indonesia?
Menurut dataTransparency International’s (TI), secara global Indonesia memiliki level korupsi yang cukup tinggi dan peringkat ini sangat buruk. Presiden SBY sudah mencoba mengatasi masalah ini selama kepemimpinannya. Hasilnya, ada beberapa kemajuan dicapai. Korupsi bagaimana pun juga tetap menjadi faktor negatif utama yang dihadapi oleh investor global.
Apa yang harusnya menjadi tolak ukur bagi pemerintahan baru untuk memberantas korupsi? Pemerintahan selanjutnya harus memperkuat kekuasaan dan resourcingunit-unit anti-korupsi di pemerintah pusat dan menerapkan metode praktik global terbaik di tubuh kementerian-kementerian serta perusahaan-perusahaan BUMN. Untuk mencapai ini, Indonesia harus mencari bantuan dari negara-negara yang sudah memiliki rekam jejak bagus dalam pemberantasan korupsi, seperti Selandia Baru dan negara-negara Skandinavia.
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah mencetak surplus perdagangan hingga semester kedua 2012. Sayang angka ini kemudian anjlok menyusul turunnya harga batu-bara dan sejumlah komoditas lainnya sehingga berdampak pada defisitnya neraca perdagangan. Sedangkan pertumbuhan pemintaan domestik telah mendorong impor, sekaligus menjadi roda penggerak pertumbuhan ekonomi.
Neraca perdagangan Indonesia pada 2014, telah terpukul jauh karena keputusan pemerintah SBY pada Januari lalu yang melarang ekspor beras, bahan mineral, khususnya tembaga dan nikel. Diskusi yang berlangsung antara perusahaan-perusahaan tambang internasional dan Jakarta untuk mencoba menemukan sejumlah solusi jangka pendek.
Undang-undang yang diperkenalkan pada Januari akan memperpanjang larangan memproses biji besi pada 2017. Tujuan pemerintah menerapkan aturan ini adalah untuk mendorong perusahaan-perusahaan tambang melakukan shift produksi ke negara lain, jika pengolahan di Indonesia kurang komptitif.
Ada pula kekhawatiran bahwa pemerintah berikutnya akan menerapkan kebijakan populis. Apa sebetulnya yang bisa dilakukan pemerintahan berikutnya untuk mengurangi kemiskinan dan mendistribusikan kekayaan negara tanpa harus menambah anggaran?
Yang bisa dilakukan, yakni mempersempit kesenjangan dan menyediakan layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat.
Ada sebuah risiko yang cukup rawan bagi pemerintahan mendatang, yakni kebijakan populis untuk meningkatkan belanja pemerintah, contoh menaikkan upah bagi sektor pekerja atau menaikkan anggaran sosial khususnya dibidang kesehatan. Hal ini secara perlahan berisiko mengikis kemajuan yang dibuat dalam beberapa dekade terakhir dalam upaya mengurangi utang.
Pemerintahan Jokowi juga perlu berhati-hati dalam mengatur pengeluaran negara, seperti pengeluaran untuk menjaga defisit agar tetap rendah dan membatasi utang pemerintah terhadap rasio PDB. Salah satu langkah yang juga penting yakni mengurangi subsidi BBM, yang masih menguras sumber fiskal negara.
Bagaimana investor asing memandang Indonesia sebagai tempat tujuan investasi dan pemerintahan seperti apa yang ingin mereka lihat?
Investor asing secara signifikan menilai Indonesia sepanjang 2010 hingga 2013 sebagai tempat tujuan investasi, hal itu ditandai dengan naiknya foreign direct investment (FDL) maupun investasi yang mengalir ke pasar modal. Factor penting yang mengendalikan hal ini adalah situasi ekonomi makro yang membaik hingga perusahaan-perusahaan pemeringkat utang grade investment grade untuk Indonesia.
Arus investasi asing langsung ke Indonesia pada rentan waktu tersebut naik hingga 2 kali lipat. Akan tetapi jika pemerintahan Jokowi tidak mengejar reformasi kunci, yakni memperbaiki iklim usaha dan menjadikan Indonesia lebih kompetitif, maka dengan mudah pula investor global akan kehilangan kepercayaan terhadap prospek bisnis tanah air.
Bagaimana memproyeksikan ekonomi Indonesia dalam 1 tahun kedepan dan apa outlook jangka menengah? Proyeksi IHS adalah ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,2 persen pada 2014 ini dan 5,5 persen pada 2015. Akan tetapi, outlook untuk 2015 dan rencana jangka menengah sebagian besar masih tergantung pada bagaimana pemerintah yang baru melanjutkan managemen ekonomi makro yang sehat dan melakukan reformasi pasar yang berkelanjutan.
Nama Kelompok :  (1EB11)
- Aldi Rivaldi
- Lia Astuti
- Venny Arifani


SUMBER  :